Selasa, 30 November 2010

Menggalakkan Koperasi Sebagai Suatu Semangat

Secara historis, koperasi secara kelembagaan lahir pada awal abad ke-19 sebagai reaksi terhadap sistem liberalisasi ekonomi yang pada waktu sekelompok kecil pemilik modal menguasai (mengeksploitasi) kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, kata koperasi (cooperation) dan rakyat (people) tidak dapat dipisahkan. Raiffisen misalnya, yang menjadi Walikota Heddesdorf, Jerman pada tahun 1864 mendirikan people’s bank (koperasi kredit) yang ditujukan membantu petani yang sangat sengsara hidupnya sehingga tidak sampai jatuh ke tangan pemeras: lintah darat. Koperasi konsumsi Rochdale di Inggris, tahun 1844, juga sering diangkat menjadi contoh klasik bagaimana 27 laki-laki dan seorang perempuan buruh pabrik tenun menggalang kekuatan menghadapi cekikan harga-harga pokok yang sangat mahal saat itu.

Fokus pengembangan koperasi dari semangat ke projek dan badan usaha juga hanya menghasilkan badan usaha yang lemah, jauh tertinggal dibanding pilar ekonomi lainnya seperti badan usaha swasta dan badan usaha pemerintah, meskipun ada dukungan konstitusi dan perhatian pemerintah begitu besar. Mengapa demikian? Sulit menjawab ini secara persis. Barangkali dapat didekati dari pemikiran ortodoksian yang mewarnai perekonomian Indonesia. Penganut paham ekonomi ortodoksian sangat percaya implikasi etis output sebagai fungsi dari kontribusi.

Menurut paham ini, wajar bila setiap orang yang tidak memiliki kontribusi cenderung menjadi penonton hasil kegiatan ekonomi. Dan ini pula salah satu latar belakang yang dapat membantu menjelaskan lahir dan berkembangnya praktik-praktik monopoli. Lantas, apakah fair menghadapkan koperasi dengan usaha-usaha yang monopolistik dalam suatu arena bebas? Bahkan melindungi koperasi dengan berbagai kemudahan dan belas kasih tanpa melakukan pembatasan terhadap aktivitas monopoli tidak terlalu banyak membantu. Apalagi dalam persaingan akses pasar dan permodalan yang ketat, koperasi secara kelembagaan usaha dituntut lebih efisien dan tangguh yang didukung sumberdaya manusia yang kuat . Tanpa itu, koperasi sulit berkembang.

Lebih setengah abad, ucapan Bung Hatta ini masih relevan. Realita perkembangan perkoperasi masih jauh dari harapan. Tidak hanya koperasi dalam arti kelembagaan, bahkan yang semakin sulit, semangat dalam arti cooperatism, semangat bekerjasama! Dan pemerintah sekarang dan yang akan datang memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional memperbaiki kesalahan konsepsional dan praktikal atas koperasi yang diterapkan oleh pemerintah Orba selama hampir tiga dekade.

sumber : http://www.theindonesianinstitute.org/tpjuly0903.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar